- Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para
pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan
tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak
terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu
pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang
artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan
yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi
prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu
1) Tidak memenuhi prestasi sama
sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur
yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi
sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak
tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat
diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak
tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak
sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi
keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka
debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
1) Tidak melakukan apa yang
disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang
dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya
tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam
suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak
dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang
berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur
melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa
berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam
perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan
wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan
mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan
wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan
kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau
pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur
menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang
ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si
berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan
sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur
dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah.
1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari
hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita
memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus
berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah
tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu
sendiri
Maksudnya sejak pembuatan
perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam
perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah
pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan
maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam
keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur
melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal
termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur
mengakui dirinya wanprestasi.
- Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa
sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu;
1) Membayar kerugian yang diderita
kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila
sampai diperkarakan dimuka hakim.
- Ganti Kerugian
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang
berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan
itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten),
atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden),
tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan
yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang
dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada
hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita.
Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang
sebab-akibat yaitu;
a) Conditio Sine qua Non (Von
Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari
peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada
pristiwa A
b) Adequated Veroorzaking
(Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari
peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang
normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari
kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated
Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang
selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori
inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang
debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela
dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya
keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur
sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur
telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
- Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya
prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya
debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan
memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan
perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah
dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya,
dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko
serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan
menimbulkan berbagai akibat yaitu;
a) Kreditur tidak dapat lagi
memintai pemenuhan prestasi;
b) Debitor tidak lagi dapat
dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c) Resiko tidak beralih kepada
debitor;
d) Kreditor tidak dapat menuntut
pembatalan pada persetujuan timbal-balik.
Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif
dan teori subjektif:
Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan
tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak
mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin
dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika
debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi
prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada
B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan
tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda,
sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal
ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika
menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika
bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang
yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.
Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya
perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja
kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang
yang hilang ditemukan kembali.
- Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa
dalam Perspektif Fiqh Muamalah
Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik
ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam
cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti
kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah
satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.
Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh
pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada
akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah
atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut
perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi
ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam
perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang
disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak
yang lalai.
Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus
membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian
berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan
perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus
membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan
(sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang
disepakati maka barang tersebut harus diganti.
Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman,
yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan
adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.
Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam
akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala
kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya
oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh
Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki
perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk
memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan
dalam pembayaran hutang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar